Kecerdasan dan Keberanian untuk Meminta Pertolongan
Tolong berikan saran judul yang tepat untuk curahan hati di bawah ini, supaya judulnya tidak garing dan mirip artikel ilmiah.
---
Hari ini saya merasa kesal dengan diri sendiri, karena merasa kurang cerdas untuk tahu kapan butuh bantuan, dan tidak memiliki keberanian yang cukup untuk meminta bantuan. Padahal sudah ada fitur raise hand dan fasilitas calling friends. Kesannya malah seperti tidak butuh bantuan siapapun, padahal kerjanya menangis dalam kesendirian. Alasannya sangat mendasar, karena sulit untuk mengungkapkan kesusahan dan kesedihan kepada orang lain. Sebenarnya saya sering bercerita melalui fitur WhatsApp story dan membagikannya kepada teman-teman dekat saja, tapi percayalah bahwa itu semua hanya untuk seru-seruan. Tidak bisa dijadikan acuan untuk menerka kondisi dan perasaan saya yang sebenarnya. Mungkin saat posting hal lucu, sebenarnya saya sedang sangat sedih dan ingin menertawakan kesedihan saya, hehe.
Masalah meminta bantuan ini, sudah sangat sering saya coba atasi, mulai dengan meyakinkan diri sendiri kalau tidak ada orang yang bisa membaca isi hati. Semuanya harus diutarakan dengan jelas baik melalui lisan maupun tulisan. Namun tetap saja saya merasa tidak suka jika kesulitan saya menjadi pusat perhatian. Misalnya ketika mengerjakan tugas, saya kesulitan untuk menyelesaikan nomor 2 dari 5 soal. Saya sudah mencoba memahami konsepnya, mencoba mengerjakan contoh-contohnya, dan tetap tidak menemukan solusinya. Saya memperhatikan daftar kontak WA, menerka siapa yang kira-kira dapat membantu, tetapi nyatanya tidak ada yang secara ajaib mengirimkan saya pesan dan menawarkan bantuan. Yah, mungkin saya tidak harus paham dan menyelesaikan nomor 2 sekarang. Lalu saya mengumpulkan jawaban tugas seadanya, kemudian melanjutkan aktivitas lain. Yassh, itu cukup mengecewakan. Saya tahu jika saya bertanya kepada salah satu teman, mungkin dia akan langsung mengirimkan jawaban. Namun saya sudah merasa lelah dan kewalahan dengan situasi saya, enggan untuk berkomunikasi dengan orang lain, dan meminta bantuan terasa sangat merepotkan. Sebaliknya, saya berbicara sendiri, meyakinkan diri sendiri bahwa apa yang saya inginkan tidak benar-benar valid: siapa yang butuh jawaban soal nomor 2?(Oh, benar. Soal nomor 2 penting untuk saya selesaikan. Saya tahu, saya berharap dapat solusinya.)
Menjadi introvert yang terbiasa bekerja mandiri untuk bertahan hidup di dunia yang sangat menakutkan, membuat saya sangat enggan untuk meminta bantuan. Saya takut mengganggu orang lain karena menjadikan kebutuhan saya sendiri sebagai pusat perhatian. Terlebih lagi, saya harus memulai komunikasi dengan seseorang, memulai percakapan, dan kemudian meminta mereka untuk menghentikan apa yang mereka lakukan untuk kemudian membantu saya. Membayangkannya saja sangat mengerikan dan menguras energi T_T ketakutan ini berlaku untuk hal yang sederhana seperti menanyakan barang di toko kelontong, sampai hal besar seperti konsultasi kesehatan.
Padahal, banyak orang yang bersedia (dan bahkan bersemangat) untuk membantu orang lain. Namun mereka tidak mungkin tahu persis apa yang saya butuhkan, dan bagaimana mereka dapat membantu saya. Saya menyadari, bahwa mempelajari bagaimana cara meminta bantuan ini sebenarnya dapat membuat hidup saya lebih mudah dan efektif.
Berikut ini beberapa hal hasil pengalaman saya untuk mulai berani meminta bantuan orang lain:
1. Mengetahui apa yang dibutuhkan
Pernah suatu hari saya minta bantuan seorang senior untuk mengajari saya salah satu mata kuliah yang snagat sulit dan tidak familiar bagi saya. Sangking sulitnya bagi saya, saya sampai tidak tahu bagian mana yang harus saya tanyakan. Dia menanggapi permintaan saya dan menyediakan waktu luang untuk berdiskusi. Saat berdiskusi, saya banyak diam, karena saya butuh waktu untuk mencerna apa yang dia sampaikan. Beruntungnya saya, dia sepertinya memahami mengapa saya kesulitan, jadi dia yang selalu memantik diskusi dengan tujuan mengarahkan saya dalam proses memahami suatu konsep. Saya sangat menyukai momen itu, dan saya sangat ingin berdiskusi lagi dengannya. Namun saya merasa bersalah sudah membuatnya menghabiskan waktu 4 jam hanya untuk berdiskusi dengan saya di tengah berbagai kesibukannya.
Pengalaman lainnya, saya minta bantuan teman untuk berdiskusi suatu topik penelitian. Lagi-lagi hal yang sulit dan baru bagi saya. Selama diskusi, kejadian seperti sebelumnya terulang kembali. Saya banyak diam, hanya menanggapi seadanya. Kesannya seperti tidak excited, padahal saya sangat menyukai diskusi itu. Wkwk. Namun teman saya ini tidak menyadari kebingungan saya, dan mungkin mengganggap saya tidak tertarik dengan penjelasannya. Saya bisa menerka rasa kesalnya hanya dari intonasi dan nada bicaranya. Saya yakin dugaan saya valid, sebagai INFJ inilah salah satu skill terbaik saya, strongly connected to the emotions of others :v.
Berdasarkan dua pengalaman tersebut, saya menyadari bahwa saya harus meminta bantuan secara spesifik supaya bantuan yang diberikan bisa efektif dan efisien. Bantuan diskusi misalnya, saya akan mencoba memahami dulu materi yang sulit, kemudian mencatat yang belum bisa dipahami, baru kemudian minta bantuan untuk diskusi. Lalu saya akan membatasi waktu diskusi supaya tidak merasa merugikan orang lain. Jika yang membantu mau berbagi hal lain saat dia menyadari saya membutuhkan pengetahuan tersebut, maka itu bonus untuk saya.
2. Rencanakan beberapa kalimat untuk diucapkan atau pertanyaan untuk ditanyakan
Sebenarnya saya tidak tahu sejak kapan hal ini mulai penting dalam hidup saya. Saya juga tidak tahu apakah ini normal atau saya hanya tidak terbiasa. Faktanya, saya selalu merasa kesulitan setiap berkunjung ke tempat-tempat umum. Lagi-lagi saya selalu beruntung dalam menghadapi dunia yang mengerikan ini. Saya selalu dipertemukan dengan orang berkepribadian ekstrovert sebagai teman terdekat saya. Jadi, saat saya berurusan dengan orang-orang di tempat umum, salah satu mereka akan menemani dan menjadi juru bicara saya. Selama saya studi sarjana, orang yang sangat membantu saya dalam hal ini adalah Salma dan Teteh Rizky. Mulai dari berobat ke dokter sampai membuat paspor. Wkwk. Pernah suatu hari teteh tidak bisa mengantar saya berobat, tapi teteh membekali saya dengan berbagai pertanyaan untuk ditanyakan ke dokter. Jika tidak seperti itu, bisa dipastikan saya tidak akan bertanya apapun setelah berobat. Hanya menjawab Ya atau Tidak selama sesi konsultasi. Cerita lainnya, saat saya harus membawa motor saya ke bengkel sendirian karena mesinnya sering mati mendadak, dan teman-teman saya sedang ada kesibukan masing-masing. Maka hal yang saya lakukan setelah mengumpulkan keberanian adalah membuat skenario kunjungan ke bengkel. Saya buat daftar kalimat apa saja yang harus saya ucapkan ketika di bengkel. Mulai dari salam pembuka sampai ucapan terima kasih dan salam penutup. Tentu dibantu oleh teman saya yang pernah ke bengkel. Wkwk.
3. Memahami dari mana rasa takut meminta bantuan itu berasal
Sebagai orang yang terbiasa mengerjakan segala sesuatu sendiri, meyakini bahwa saya sangat mandiri, saya sering berpikir bahwa akan lebih baik jika saya kerjakan sendiri, baik tentang membuat sarapan, tentang tugas kuliah, atau tentang kerapihan rumah. Bagi saya, jika diabiarkan sendiri, maka ide-ide di kepala saya akan lebih cepat muncul. Namun hal ini tidak selalu menguntungkan, dalam kegiatan kelompok atau kepanitiaan misal, maka tanpa sadar saya akan mengambil porsi kerja lebih banyak untuk dikerjakan sendiri. Kadang saya takut mendelegasikan ke orang lain, karena saya takut jika tidak akan berjalan dengan baik. Huahaha. Setelah menelan konsekuensi sikap perfeksionis itu bertahun-tahun, saya jadi makin menyadari kapan saya harus melepas dan mendelegasikannya kepada orang lain. Saya menyadari bahwa mempertahankan diri saya pada standar yang sangat tinggi tidak benar-benar membantu saya atau siapapun. Daripada terjebak dalam kompleks superioritas, sekarang saya menemukan bahwa saya dapat menerima ide-ide orang lain dengan pendekatan keingintahuan.
Hari ini, ketika saya menyadari bahwa saya benar-benar ragu untuk meminta bantuan, saya mencoba menyelidiki dan membongkar ketakutan saya: Apakah saya gugup karena harus berbicara dengan seseorang? Apakah saya takut ide-ide mereka akan bertentangan dengan ide saya? atau tentang perasaan saya bahwa saya bisa melakukannya sendiri dengan lebih baik?
Setelah melalui banyak hal, saya menyadari bahwa jika saya dapat memahami apa yang membuat saya sungkan, akan lebih mudah bagi saya untuk melewati penghalang tersebut. Misalnya, jika saya khawatir merugikan waktu seseorang karena menolong saya, seperti senior saya yang mengajari saya mata kuliah sulit, saya dapat memintanya mengajari saya hal-hal yang benar-benar tidak pahami saja. Atau jika saya rasa saya bisa mengerjakan ToR kegiatan lebih cepat jika sendiri, saya mungkin akan terjebak dalam sikap perfeksionisme. Maka saya mengingatkan diri saya, jika saya akan lebih stress jika pekerjaan saya tidak selesai tepat waktu, daripada meminta bantuan rekan satu tim untuk membantu saya.
Oke, saya akan praktikkan keterampilan minta tolong ini di sini. Tolong ingatkan saya ya, wkwkwkwkwkwk. Terkadang saya lupa bahwa saya tidak harus memikul beban dunia sendirian di pundak saya. Ingatkan saya untuk mencari tahu apa yang saya butuhkan, merencanakan bagaimana meminta pertolongan, dan membongkar ketakutan saya untuk meminta bantuan. Ini akan membantu saya untuk hidup lebih lama dalam jangka waktu yang panjang. XD



Komentar
Posting Komentar