Diplomasi Tingkat Tinggi





Aku sulit mengingatnya, entah sejak kapan persisnya seperti ada batu besar memenuhi ruang yang selama ini kosong. Aku merasa sesak. Sangat sulit bernapas. Bukan udara yang mengalir tiap detik, tapi suara bising yang mengalir sunyi lewat air mata, tanda tanya, dan lebih sering doa. Padahal sejak dulu ruang kosong itu selalu bersikeras menutup rapat semua ventilasi dan pori-porinya. Bahkan, kemarin petang ketukan berupa kepastian kesekian dari sepuluh tahun lalu hanya mendapatkan salam perpisahan dan doa-doa kabaikan.


Aku pastikan sekali lagi, disebut apa sesuatu yang menyesakkan ini. Aneh sekali. Tidak bermassa, tidak pula berwujud tapi aku bisa merasakannya. Seperti foton? Ini lucu, pernah kudapati memang seperti gelombang, tapi kadang prilakuknya seperti partikel. Gelombang yang menempati seluruh ruang, kadang menenangkan, kadang menghangatkan, kadang dingin, kadang menusuk-nusuk, kadang mencekam, kadang menghanyutkan dan lebih sering membuatku tersenyum sendiri. Parikel yang bisa berinteraksi dengan material-material lain dalam diriku sambil diam-diam menyisipkan energi.


Sopan sekali. Aku curiga dia memang pandai berdiplomasi. Sepekan lalu aku lihat dia menyusun puzzle-puzle yang berserakan di ruang rasionalku tanpa permisi. “Wah” gumamku tanpa jadi memintanya pergi. Tentang puzzle-puzzle itu, jangankan menyusunnya, memindahkan tiap potongannya saja Aku tidak bisa. Belum selesai sampai situ, sepertinya dia mulai menyerap sisa-sisa kesedihan dari cerita-cerita yang tidak pernah kubagikan. Kau bisa mengenal rasa percaya padanya, dan kau bisa berbagi kisah apapun itu melaluinya. Bisikan aneh yang disebut intuisi itu mempengaruhiku. Bukannya membiarkannya pergi, Aku malah menahannya sampai pagi.


Suatu kali, dia pergi dan lama tidak juga kembali. Aku panik tidak karuan karena sangat merasa takut--kehilangan. Gemericik suara hujan, daun jatuh bahkan suara petir terdengar begitu memilukan kompak meneriakkan melodi perpisahan. Kepergiannya meninggalkan sesuatu yang lain. “Kenalkan, namanya kerinduan. Jika kau yakin Aku kembali, kerinduan itu akan membawa ketenangan. Namun jika kau ragu Aku kembali, kerinduan itu akan membawa kegelisahan” katanya berhari-hari kemudian.


Aku mulai bertanya-tanya pada Tuhan, salahkah Aku? Aku membela diriku tak tahu malu, bukankah Dia yang sudah menghadirkannya saat aku memohon kemudahan dan kebahagiaan dalam menjalani kehidupan? Aku memohon-mohon pada Tuhan, supaya Dia izinkan “foton” itu menetap di ruang kosongku --selamanya. Kuabaikan suara bising bahwa ini mungkin adalah cerita sepihak dengan narasi “bagiku dia penting tapi baginya aku asing”. Sedikit egois utopis, Aku berdoa sekali lagi pada Tuhan, kalau diizinkan, tolong halalkan Aku untuknya --pekan depan.

 

 

Komentar

Postingan Populer