Hujan Bulan Juni
Judul: Hujan Bulan Juni
Penulis: Sapardi Djoko Damono
Penerbit: Kompas Gramedia
Jumlah Halaman: 135 halaman
Hujan mengguyur Bandung siang hari, tidak peduli kalau ini
bulan Juni. Menguatkan suasana redup kedinginan karena merasa akan ditinggalkan
bersama seluruh kenangan yang tidak bisa dielakkan. Kombinasi karakter
perempuan yang plegmatis, melankolis lengkap dengan kepribadian INFJ ini, sulit diakui
tapi ya sangat rapuh dan menyedihkan. Membawaku pada puisi Kakek Sapardi, dan
kilasan novelnya yang kubaca dua kali.
tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
(1989)
Novel ini bukanlah karya Kakek Sapardi yang satu-satunya
pernah kubaca. Sebelumnya aku membaca buku kumpulan sajak Hujan Bulan Juni, koleksi adikku si lelaki senja yang tidak suka kopi.
Selain itu aku juga pernah membaca buku kumpulan sajak Masih Ingatkah Kau Jalan Pulang, kolaborasi Kakek Sapardi dan Paus
alias Rintik Sedu. Harapanku saat melihat buku versi novel ini tentu ingin merasakan
sensasi membaca sajak dalam bentuk novel.
Benar saja, tokoh utamanya adalah seorang penyair yang
meyakini bahwa puisi adalah medium komunikasi antar manusia yang masih hidup di
dunia.
“Tanpa aku kirim pun, karena puisi itu shaman tentu pesannya sudah sampai ke Kyoto. Ia merasa puas dengan pernyataannya sendiri” -Halaman 8
Penyair itu bernama Sarwono, lelaki Jawa yang profesi
sampingannya adalah akademisi. Dosen dan peneliti bidang antropologi.
“Kalau semua baik-baik saja, apa pekerjaan kita? Tanya mereka mengejek. Ya, memang pekerjaan peneliti itu cari-cari masalah, tetapi juga sesekali harus berani menyadari bahwa sebenarnya tidak ada masalah dnegan yang ditelitinya. Itu keyakinan yang dipegangnya teguh. Dan keyakinan demikian pada gilirannya menyeretnya pada keyakinan macam lain lagi, yakni bahwa ternyata tida ada satupun yang tidak bermasalah di sekitar kita ini. Ya itulah ilmu, katanya pada dirinya sendiri. Hidup ilmu! Ia berhenti sejenak dari pikirannya kemudian berteriak kepada dirinya sendiri dengan penuh semangat, Hidup masalah!” -Halaman 6
Seperti yang kuharapkan, novel ini seperti kumpulan sajak yang
sebenarnya mudah dicerna tapi kadang membuatku ragu apa arti tiap bait
kalimatnya. Jujur saja kadang aku baca cepat dan lompat-lompat karena alurnya yang
lambat. Sayangnya kisah disajikan maju mundur dan membuatku bingung dan mau
tidak mau membaca ulang halaman sebelumnya.
Konflik utama dalam novel ini seputar perpisahan. Ada yang
ditinggalkan, dan ada yang meninggalkan. Lalu keduanya berserah pada takdir
entah kemana cerita akan berakhir.
“Nasib memang diserahkan kepada manusia untuk digarap, tetapi takdir harus ditandatangani di atas materai dan tidak boleh digugat kalau nanti terjadi apa-apa, baik atau buruk.” -Halaman 19
Kalsik tapi tetap saja mengusik. Pingkan, perempuan Manado,
yang namanya diambil dari kisah tanah Minahasa, pergi meninggalkan Sarwono
menuju Kyoto. Membawa kisah Matindas yang seenaknya direvisi oleh Sarwono.
Lebih dari itu, ada pula isu rasisme dan identitas di sini.
“Aku hanya sebentar. Untuk belajar, Sar”-Halaman 123
Selesai kisah Matindas, Sarwono mengangkat kisah Ronin untuk
menggambarkan kemungkinan akhir kisah mereka. Perpaduan dua cerita rakyat lokal
dan sejarah zaman feodal Jepang, membuatku berkali-kali rehat membaca untuk
mengetikan beberapa kata kunci di kolom pencarian internet.
“Tidak ada siapa atau apa pun yang berhak menyampaikan dongeng tentang ronin yang gentayangan di hutan bambu kecuali sabda yang sudah tertulis dalam surat takdir”-Halaman 127
Akhir novel ini tentu menjawab pertanyaan Sarwono dan Pingkan.
Tentang apakah puisi Sarwono sampai pada Pingkan yang jauh di Kyoto. Terakhir, tentang
siapakah yang terseret takdir menjadi ronin.
Bayang-bayang hanya berhak setia
Menyusur partitur ganjil
Suaranya angin tumbang
Agar bisa berpisah
Tubuh ke tanah
Jiwa ke angkasa
Bayang-bayang ke sebermula
Suaramu lorong kosong
Sepanjang kenanganku
Sepi itu, mata air itu
Diammu ruang lapang
Seluas angan-anganku
Luka itu, muara itu
-Salah satu puisi Sarwono
Sebenarnya bagiku cerita dalam novel ini terkesan cengeng
dan picisan. Tapi novel ini cocok dibaca kalau ingin menikmati karya sastra
seorang sastrawan fenomenal. Sekaligus melihat bagaimana kisah yang sederhana
bisa disajikan apik dalam satu kesatuan novel yang bernilai. Menurutku 4.5/5
untuk sajian karyanya.
Komentar
Posting Komentar